Translate

Jumat, 23 Januari 2015

Perbandingan Power Supply Konvensional dengan Power Supply Switching

POWER SUPPLY

Power Supply adalah bagian pencatu daya bagi rangkaian elektronika. Fungsi utama rangkaian power supply adalah mengubah tegangan AC jala-jala listrik menjadi tegangan DC yang dibutuhkan. Saat ini dikenal dua sistem power supply, yaitu:

  1. Sistem konvensional dengan trafo step down 50Hz dan rangkaian penyearah dioda dan elco.
  2. Sistem switching yang dikenal dengan SMPS (Switching Mode Power Supply)


Power supply digunakan untuk memberikan daya atau tenaga pada sebuah peralatan. Namun dalam prakteknya, power supply  yang   ada  jenisnya ada beberapa macam , karena penggunaan dan karakteristiknya yang sedikit membedakan dengan power supply konvensional. Salah satu jenis Power supply yang lazim digunakan untuk Televisi  atau DVD player, yakni jenis power supply SMPS. Dinamakan Switch Mode Power Supply (SMPS) karena sistem kerjanya menggunakan metode switching (pensaklaran) yaitu menghidup matikan tegangan yang masuk ke dalam trafo dengan peralatan/komponen elektronik dengan frekuensi tertentu. Sedangkan nama AC-matic diambil dari salah satu kelebihan dari SMPS yaitu kemampuan power supply bekerja dengan rentang tegangan masukan yang lebar. Pada beberapa jenis smps, mampu bekerja pada tegangan masukan antara 90 s/d 265V dengan output yang sama dan stabil. Karena kelebihan tersebut, smps menjadi auto-voltage regulator atau wide range input regulated power supply (secara Mudahnya Disebut AC-matic).
  
POWER SUPPLY KONVENSIONAL / NON SWITCHING
Pada power supply konvensional, tegangan AC ini lebih dahulu diturunkan melalui sebuah transformator step down lalu keluaran trafo disearahkan dengan dioda dan diratakan dengan kapasitor elektrolit (elco). Sering sekali kita mendengar istilah "power supply" pada bidang elektronik.

Power supply linier ini masih menonjol untuk kebutuhan daya sedang dan merupakan jenis catu daya konvensional. Prinsip power supply jenis ini masih menerapkan mode pengubahan tegangan ac ke dc menggunakan  transformator step-down sebagai komponen utama penurunan tegangan.

Transistor pada power supply linier berfungsi sebagai resistor yang bisa diatur dimana perbedaan tegangan vd – Vo antara input dan tegangan keluaran yang diinginkan melewati transistor dan menyebabkan daya hilang pada power supply tersebut.

Untuk memberikan range tegangan masukan ac 60 Hz, dibutuhkan penyearah dan filter keluaran vd(t) seperti yang diperlihatkan pada gambar1.2.  Untuk meminimalisasi kehilangan daya pada transistor, rasio pada transformator harus dipilih dengan hati-hati  seperti Vd,minpada gambar 1.2 lebih besar dibanding Vo tetapi tidak melebihi Vo dengan margin yang lebih besar. Ada dua point penting pada power supply linier, yaitu:
(a)    Dibutuhkan tranformator dengan frekuensi rendah, kira-kira 60 Hz.
(b)    Transistor beroperasi pada pada daerah aktifnya. Pada daerah tersebut terjadi kehilangan daya yang signifikan. Oleh karena itu efisiensi dari power supply linier biasanya berkisar pada range 30 – 60%.

Hal yang positif dari power supply ini adalah rangkaiannya sederhana (biayanya lebih kecil), rating daya (<25 W). juga, power supply ini tidak menghasilkan EMI yang lebih besar dengan peralatan lain

POWER SUPPLY SWITCHING
Salah satu kelemahan dari power supply konvensional adalah efisiensinya yang rendah karena mengambil tegangan dari hasil penyearahan sinyal sinus. Untuk meningkatkan efisiensi power supply maka sinyal yang disearahkan harus berupa sinyal kotak. Dalam hal ini kemudian muncul sebuah power supply sistem baru dengan metode pensaklaran yang disebut sistem switching.

Pada power supply sistem switching, sinyal AC dari tegangan jala-jala listrik 220V disearahkan lebih dahulu menjadi tegangan DC melalui sebuah rangkaian dioda penyearah dan elko. Tegangan DC hasil penyearahan ini kemudian disaklar on-off secara terus menerus dengan frekuensi tertentu sehingga memungkinkan nilai induktor dari trafo menjadi kecil. Hal ini khususnya untuk memperkecil ukuran power supply.

Gambar Blok Diagram Power Supply  SMPS

Transformator  (Trafo)
Pada sistem smps, pada umumnya bekerja pada frekuensi antara 30 s/d 40 KHz. Sehingga tidak heran jika trafo pada smps menjadi lebih ringkas. Karena frekuensi kerjanya yang tinggi tersebut, inti dari trafonya tidak lagi menggunakan plat besi tetapi sudah menggunakan ferit (besi oksida) yang notabene mempunyai kemampuan magnetisasi dan demagnetisasi lebih cepat daripada besi biasa.

Line Filter
Line filter befungsi sebagai filter tegangan masukan, tujuan utamanya untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi liar dari line/jala-jala listrik (selain frekuensi tegangan AC masukan) yang dimungkinkan bisa mengganggu kerja dari smps. Line filter dibentuk dari induktor-induktor dan kapasitor-kapasitor yang dipasang secara seri terhadap tegangan masukan.

Rectifier
Blok penyearah berfungsi sebagai penyearah tegangan AC menjadi tegangan DC. Komponen-komponen penyearahan terdiri dari dioda-dioda dan elco. Dioda berfungsi sebagai penyearah dan elco befungsi sebagai filter untuk menghilangkan denyut ripple pada tegangan DC yang dihasilkan selain kapasitor-kapasitor yang dipasang paralel terhadap dioda. Jenis penyearahan pada umumnya menggunakan metode bridge rectifier, yang mempunyai kelebihan pada tingginya isolasi antara tegangan DC yang dihasilkan dengan tegangan AC masukan.

Tegangan masukan sekitar 220VAC setelah disearahkan dan melalui elko berubah menjadi sekitar 1,4 x 220 = 308VDC. Jika elko pada penyearah kering, tegangan 308VDC tersebut menjadi tidak tercapai sekaligus terdapat ripple. Akibat terburuknya adalah smps menjadi lebih panas (karena berusaha menstabilkan output dan terganggu bentuk pulsanya oleh DC ripple). Cara termudah mendeteksi ini adalah dengan mengukur tegangan 308V-nya atau munculnya suara mendecit/mengerik pada Trafo utama

StartUp
Di awal sudah disinggung bahwa smps menggunakan frekuensi kerja antara 30 s/d 40 KHz. Karena frekuensi tersebut tidak ditemukan pada tegangan DC, maka sistem smps harus membuat/menggenerasikan sendiri pulsa/denyut tersebut. Metode paling sering ditemukan adalah dengan metode self oscilating (osilasi sendiri). Pada jenis ini, rangkaian smps ibarat sebagai rangkaian osilator frekuensi daya tinggi. Tidak jarang juga ditemukan smps yang menggunakan IC untuk membuat pulsa tersebut, misalnya TDA8380, TEA2261, STR-group dll.
Dalam setiap sistem osilator, dibutuhkan tegangan awal/pemicu yang berfungsi sebagai pemicu awal rangkaian osilator untuk berosilasi. Tegangan pemicu ini muncul beberapa saat setelah smps mendapat tegangan masukan (AC in). Besar tegangan pemicu ini tergantung dari jenis rangkaian smps yang digunakan (contoh, pada STR-F665x osilator akan bekerja jika tegangan pemicu sudah mencapai 16V). Karena sifatnya hanya sebagai pemicu, tegangan ini tidak dipakai lagi ketika smps sudah bekerja. Pada umumnya, tegangan pemicu diambil dari 308V dengan melalui R Atau Transistor Start Up

Switcher
Switcher berfungsi sebagai penswitch utama transformator, pada umumnya menggunakan transistor atau FET. Karakteristik switcher harus mampu menahan arus kolektor/drain yang cukup besar untuk menahan tegangan pada lilitan primer transformator. Arus ini bukan arus konstan melainkan arus sesaat tergantung lebar pulsa yang menggerakkan. Selain kemampuan arus, transistor/fet switcher harus mempunyai frekuensi kerja yang cukup untuk diperkerjakan sebagai switcher.

Error Amp/Detector
Rangkaian Error Amp/detector berfungsi sebagai stabiliser tegangan output. Cara kerjanya adalah membandingkan tegangan output (diambil dari lilitan sekunder trafo) dengan tegangan referensi yang stabil. Jika tegangan output terlalu tinggi, rangkaian ini akan mengendalikan/memberitahu rangkaian primer/switching utama untuk segera menurunkan tegangan. Kunci dari AutoVoltage berada pada blok ini. Tegangan sekunder yang dihasilkan dinaikkan dengan cara melebarkan pulsa, dan sebaliknya untuk menurunkan tegangan output dengan cara menyempitkan pulsa yang masuk ke switcher (penswitch=TR/FET final).

Jika Error Amp gagal/tidak ada, rangkaian smps akan ‘dipaksa’ untuk menswitch (mengkonsletkan) lilitan primer dengan lama yang melebihi kemampuan switcher, akibatnya TR/FET Final akan rusak.
  
Lokasi rangkaian error amp dapat ditemukan di bagian primer (nyetrum/hot) atau bisa ditemukan di bagian sekunder (non hot area). Pada model-model smps terdahulu, sering dijumpai pada primer, pada smps yang lebih baru dapat dijumpai pada bagian sekunder (non hot area) dengan menggunakan optocoupler (mis. PC817, P721, P621 dll) sebagai lintasan sekaligus isolator rangkaian Error Amp. Sanken Error (SE090, SE115) merupakan IC error amp yang sering dipakai pada smps saat ini. SE090, SE110, SE115 dan SE lainnya merupakan buatan Sanken/Allegro Semiconductor.

Snubber Circuit
Jika diartikan secara harfiah, snubber=mencerca, memang sedikit salah kaprah, tapi sebenarnya memang tujuannya begitu. Pada sistem smps, trafo diswitch (diberi tegangan sesaat olah TR/FET final) dengan lama tertentu, kemudian TR/FET akan melepaskan (meng-off-kan) trafo. Ketika diberi tegangan, inti transformer menjadi magnet sesaat hingga trafo di-off-kan. Ketika trafo di-off-kan, trafo akan men-transform energi magnet ke lilitan sekunder hingga trafo di-on-kan lagi begitu seterusnya.

Tidak seluruh energi/magnet dalam trafo dapat dipindah semuanya (akibat tidak sempurnanya trafo=efisiensi trafo) mengakibatkan masih adanya magnet yang ‘tertinggal’ di dalam inti trafo. Energi magnet yang tertinggal tersebut secara langsung masuk ke TR/FET melalui kaki kolektor/drain dengan tegangan mungkin lebih tinggi dari kemampuan kerja TR/FET final. Fungsi utama dari snubber circuit adalah untuk menghilangkan/mengkonsletkan tegangan tersebut (mempercepat demagnetisasi). Selain itu, snubber juga dipakai untuk menentukan/mengadjust frekuensi kerja trafo. Karena sifat ‘mencerca’ kerja smps tersebut akhirnya disebut snubber circuit. Ciri utama snubber circuit adalah tersusun dari kombinasi C dan R (dalam beberapa jenis terdapat dioda) yang dipasang secara paralel terhadap lilitan primer trafo.

Secondary Rectifier
Tegangan pada sekunder transformator bukan dalam bentuk AC, melainkan DC yang berbentuk pulsa. tegangan yang muncul pada sekunder trafo disearahkan dan difilter untuk menghasilkan tegangan DC sekunder. Karakteristik penyearah/dioda harus mempunyai berjenis fast rectifier. Misalnya UF4002 (bukan 1N4002). Fast rectifier dimaksudkan untuk mampu menyearahkan pulsa dengan frekuensi tinggi. Elko perata cukup menggunakan ukuran beberapa ratus uF, karena frekuensi tegangan yang keluar dari trafo cukup tinggi (tergantung frekuensi kerja smps).

Blok Proteksi
Blok proteksi yang penting untuk kesempurnaan smps antara lain : 1. OVP (over voltage protector) berfungsi untuk mendeteksi tegangan yang berlebihan. Blok ini akan mengoffkan smps jika terdeteksi tegangan yang lebih. 2. OCP (Over Current Protection), berfungsi untuk mendeteksi beban lebih, smps akan off jika terdeteksi pemakaian lebih pada bebannya. 3. OHP (over heat protection), jika terlalu panas, smps akan shutdown dengan sendirinya.

Hampir semua blok tersebut sudah masuk dalam satu IC smps. misalnya STR-W575x, STR-F665x dan lain-lain.

KESIMPULAN PERBANDINGAN POWER SUPLAY KONVENSIONAL DENGAN SISTEM SWITCHING

Tabel 1 Perbandingan Power Suplay Switching dengan PS Konvensional
No
Hal
Switching Power Supply
Konvensional Power Supply
1
Efisiensi kenaikan temperatur
1.      Umumnya antara 65 % sampai 85 % suhu 200o C sampai 400o C masih diterima
Umumnya antara 25 % sampai 50 % suhu 500C sampai 1000o C tidak umum, tergantung pada teknik pembuangannya.
2
Tegangan kerut
Umumnya diperoleh antara 20 – 59 mVpp, untuk memperoleh tegangan kerut yang lebih kecil sulit dilakukan.
Tidak sulit mendapatkan tegangan kerut sebesar 5mV, yang lebih kecil bisa dibuat tapi harga nya mahal
3
Regulasi keseluruhan
Spesifikasi umum adalah 0,3% sulit untuk memperoleh regulasi yang lebih baik
Umumnya 0,1% dan untuk regulasi yang lebih baik masih dapat di peroleh dengan harga yang lebih tinggi
4
Berat
60 watt per kg
20-30 watt per kilogram
5
Volume
1 inchi kubik per watt
2-3 inchi kubik per watt, tergantung dari metoda pembuangan panasnya
6
Isolasi dari transien jala-jala
Sangat baik, seringkali lebih dari 60dB
Sengat kurang dibandingkan dengan jenis switching, jala jala yang bersifat noise dapat mengganggu beban
7
RFI dan EMI
Dapat mengganggu, memerlukan perhitungan dan penapisan
Sedikitnya bisa menjadi factor yang merugikan
8
Magnetis
Beberapa rencana dapat menyalurkan magnetis 60 Hz yang besar
Perlu magnetis 60 Hz yang mahal dan besar dalam tinggkat daya yang lebih
9
Keandalan
Rencana dipusatkan agar lebih handal dengan temperature kerja yang lebih dingin
Semakin tinggi temperature kerja semakin berkurang kehandalannya
10
Harga
Melihat pesatnya teknologi semikonduktor ada kemungkinan pembuatannya lebih murah dibandingkan dengan linier
Umumnya lebih murah, tapi dengan faktor – faktor yang ada delam system, faktor harga bisa menjadi lebih tinggi

Sumber : www.almuhibbin.com/2012/05/perbandingan-power-supply-konvensional.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar